Bungkam Saat Reformasi Dikorupsi
Berbicara tentang reformasi dan isu-isu sosial krusial lainnya selalu membuat saya takut. Merasa kurang — kurang tahu, ahli, ilmu, paham, pintar, ataupun dewasa — terhadap masalah yang ada, menjadikan bungkam jalur paling mudah tuk dipilih.
Rasa takut akan kesalahan dan aksi itu sendiri menghambat saya berbicara. Hal ini bermuara kepada kemalasan untuk berpikir apalagi berjuang. Sebagai mahasiswa calon pekerja aktif bangsa indonesia, memang sepantasnya memperjuangkan hakikat kemanusiaan yang bisa dilanggar revisi undang undang ataupun memperjuangkan masa depan yang perlahan direnggut limbah korporasi. Tetapi seruan-seruan #ReformasiDikorupsi menyadarkan saya bahwa untuk memperjuangkan hakikat tersebut saya tidak perlu menunggu cukup — cukup tahu, ahli, ilmu, paham, pintar, serta dewasa —
saya hanya perlu untuk menjadi manusia pada hakikatnya, yang berdiri di atas, demi, dan bersama kemanusiaan.
Berdiri di atas kemanusiaan terjadi ketika kemanusiaan menjadi batu yang menunjang pola pikir manusia; berdiri demi kemanusiaan berarti mengambil langkah panjang di atas ego dan logika demi mengakari nilai kemanusiaan; berdiri bersama kemanusiaan adalah menjadi saling antar sesama manusia dalam menjaga komponen atau entitas kehidupan lainnya.
Hal paling menyeramkan dari yang mereka lakukan adalah menciptakan rasa takut, memberi kesan lidah ini terikat pada undang-undang setiap kali hendak berucap, pikiran-pikiran kritis atas ketidaktepatan penggunaan kekuasaan diolah menjadi kriminalitas bernama makar, padahal jelas jelas pemerintah bungkam ketika Riau masih terbakar. Dipadamkannya KPK kian kali mereka coba beri pita di atasnya, dikemas dengan sebaik-baiknya artikel berita. Padahal kita semua tahu, undang-undang ciptaan mereka hanya mempermudah mereka mencuri dari kita. Rasa takut ditanamkan ketika aksi disimbolkan sebagai kekosongan intelektual. Mereka bilang, “belajar yang benar agar bisa mengubah sistem dari dalam,” ketika nepotisme merajalela. Mereka bilang, “selesaikan dulu studinya baru bicara,” padahal belum sampai kami ke tugas skripsi, bumi, air, dan kekayaan di dalamnya habis jadi barang dagang melupakan pasal 33 ayat 3. Bila terus menunggu bersama rasa takut, lantas apa yang tersisa bagi kami nanti bila tak diperjuangkan hari ini?
Apakah saya masih takut sekarang? Tentu. Rasa takut ini lebih dalam dari yang saya antisipasi, bahkan lunturnya masih sangat pelan di saat saya menulis semua ini. Mungkin pula rasa takut ini tak akan pernah hilang, membekas dan terus mengulang. Tapi satu hal yang saya tahu,
sekarang saya lebih takut bahwa bungkam mengakari ketidakadilan.
sekarang saya lebih takut bahwa bungkam mengakari ketidakadilan.
-n.f
Meski perjuangan tak kunjung dibuahtangani jawaban, setidaknya di hari itu mahasiswa telah turun ke jalan demi keadilan. panjang umur perjuangan mahasiswa!
Comments
Post a Comment